Senin, 01 Juli 2013

karya Gus Mus

Kang Amin

oleh : A. Musthofa Bisri



Seperti setiap kali Kiai Nur punya gawe, untuk perhelatan kali ini pun jauh-jauh hari orang-orang kampung sudah ikut sibuk. Paling tidak, sibuk membicarakannya. Soalnya, belum

pernah kiai pengasuh pesantren Tanwirul ‘Uqwul itu mengadakan perhelatan tidak

geden-gedenan. Selalu meriah. Apalagi ini

Walimatu ‘Urusy, resepsi pernikahan puterinya yang terakhir. Tutup Punjen, istilah Jawanya. “Kira-kira grup hadrah dan kasidah dari mana saja yang akan Kiai Nur undang untuk meramaikan pernikahan Ning Laila, ya?” “Kabarnya dari berbagai kota. Bahkan grup Rebana Ria yang sering tampil di tv itu juga akan ikut memeriahkan.”

“Qorinya saja dari Jakarta. Juara MTQ

Internasional.”

“Wah pasti ramai sekali, ya?!”

***



Malam hari, di kamarnya. Kang Amin tiduran telanjang dada. Mencoba tidur, tapi tidak bisa. Bukan hanya karena terlalu capek dan udara sangat panas, tapi terutama karena pikirannya yang kalut.

Dia memang agak capek. Seharian dia harus ke sana kemari mengurus ini-itu untuk keperluan perhelatan. Mulai ngurus surat keterangan di kelurahan, belanja, hingga pesan kursi dan pengeras suara.

Kang Amin memang sandaran ndalem, keluarga kiai. Hampir semua urusan rumah tangga ndalem dialah yang dipercayai menanganinya. Tapi Kang Amin tidak pernah mengeluh. Dia sudah biasa melakukan pekerjaan ndalem

dengan keikhlasan penuh. Baginya apa yang dilakukannya untuk keluarga ndalem adalah ibadah.

Sekarang ini pun dia seperti tidak merasakan capek. Justru pikirannyalah yang menyebabkan

matanya tak mau terpejam. Peristiwa demi peristiwa sejak dia ikut Kiai Nur sebagai khadam, melayani beliau dan keluarganya, muncul bagai gambar hidup.

Kang Amin memang orang ndalem paling senior dan kepercayaan Kiai Nur. Mendiang ibunya menitipkannya kepada Kiai sejak ia masih kecil. Dia tidak tinggal di gotakan bersama belasan santri seperti yang lain. Tidak seperti orang-orang ndalem lainnya, Kang Amin ditempatkan oleh Kiai Nur di kamar khusus di samping ndalem. Sendirian. Sehingga kapan saja

tenaganya diperlukan, tidak susah-susah

mencarinya. Kiai Nur dan Ibu Nyai sudah

menganggapnya seperti anak sendiri. Umumnya anak-anak santri pun menganggapnya keluarga ndalem.

Dia besar bersama Ning Romlah, puteri sulung Kiai Nur. Di madrasah pun sekelas terus, mulai Ibtidaiyah hingga tamat Aliyah. Dia lebih tua setahun dari Ning Romlah. Meski dekat, meski seperti saudara sendiri, Kang Amin tetap tahu diri. Tak pernah nglunjak, besar kepala, misalnya bersikap seperti gus. Dia menyadari bahwa dia hanyalah khadam, pembantu. Inilah yang menyebabkan seisi ndalem, khususnya Ning Romlah, menyukainya.

Sebagai manusia, Kang Amin tentu saja mempunyai perasaan tertentu terhadap gadis yang hampir setiap hari bergaul dengannya. Apalagi gadis itu, Ning Romlah, orangnya manis

dan tidak sombong. Dan yang paling menarik hati Kang Amin ialah sikap keibuannya. Kadang-kadang dia tergoda untuk menyatakan perasaannya, terutama kalau kebetulan menjumpai Ning Romlah sendirian.

Namun setiap kali dia batalkan niatnya justru karena melihat ketulusan Ning Romlah yang menganggapnya saudara sendiri.



Sampai akhirnya Ning Romlah kawin dengan Gus

Ali. Kang Amin memang sempat kecewa dan uring-uringan sendiri. Tapi melihat kebaikan Gus Ali, hatinya pun akhirnya luluh juga. Seperti biasa, dengan ikhlas, Kang Amin menjadi “seksi sibuk” dalam perhelatan pujaan hatinya itu.



Setelah Ning Romlah diboyong Gus Ali, hati Kang Amin serasa kosong, seperti orang ditinggal mati kekasih. Beberapa saat dia terlihat sering termenung. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena Ning Ummi, Ummi Salamah, adik Ning Romlah, seperti sengaja diutus Tuhan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan kakaknya.

Ning Ummi yang pemalu, yang selama ini –tidak seperti kakaknya, Ning Romlah– jarang berbicara dengan Kang Amin, tiba-tiba seperti berubah. Dia kelihatan tak lagi menjaga jarak.



Ketika tak lama kemudian menjadi akrab dengan

Kang Amin, ternyata di mata Kang Amin, Ning Ummi tidak kalah menarik dari kakaknya. Apalagi Ning Ummi, meskipun pada dasarnya pemalu, seringkali mampu mengeluarkan ungkapan-ungkapan lucu yang tak terduga.



Begitulah, semakin hari kedekatan Kang Amin dengan Ning Ummi, meski tak mencolok, semakin terasa, terutama dalam hati Kang Amin sendiri. Bahkan lebih dari Ning Romlah dulu, dengan adiknya yang pemalu ini Kang Amin merasa menjadi pelindung yang selalu ingin menjaganya. Boleh jadi ini dikarenakan oleh sikap Ning Ummi yang begitu “meng-adik” dan seperti selalu minta perhatian.

Bila Kang Amin kebetulan banyak urusan di luar, misalnya, sehingga lama tak muncul di ndalem, selalu saja ada orang ndalem yang menyampaikan pesan Ning Ummi: “Kang, sampeyan ditanyakan Ning Ummi.” Atau bila bertemu sendiri kemudian, Ning Ummi biasa

menyambutnya dengan nada seperti orang marah, “Kemana saja sih sampeyan, seharian kok tak kelihatan batang hidungmu?”

Bila kebetulan Kang Amin akan pergi ke luar kota melaksanakan perintah Kiai, Ning Ummi biasa mengantar kepergiannya dengan kalimat khasnya,

“Awas, jangan lama-lama lho, Kang!”

Ungkapan-ungkapan seperti ini bagi Kang

Amin merupakan cermin dari kerinduan dan rasa sayang, sesuatu yang membuat hatinya semakin tertambat kepada puteri kedua kiainya ini.



Sampai suatu hari Kang Amin dipanggil Kiai. Seperti biasa, tanpa pendahuluan ini-itu, Kiai langsung menyampaikan maksudnya.

“Min, kamu rombongan tamu yang dua

mobil kijang kemarin itu adalah keluarga

Kiai Makmun dari Jawa Barat. Kiai Makmun melamar adikmu, Ummi, untukputeranya yang baru lulus dari Universitas Ummul Qura Mekkah. Alhamdulillah, kami sudah menyepakati akad dan

walimahnya nanti bulan Syawal ini.”



Tak perlu diceritakan lagi betapa berita ini

mengguncang perasaan Kang Amin. Untung Kiai tidak memperhatikan wajahnya yang menjadi pucat seketika.

Sambil beranjak dari kursi goyangnya, Kiai berpesan, “Kamu siap-siap. Semua urusan sampai dengan hari pelaksanaan akad dan walimah saya serahkan kepadamu. Kan kamu sudah berpengalaman saat adikmu, Romlah,

kawin dulu.”



Lama setelah Kiai pergi meninggalkannya

sendiri untuk mengajar, Kang Amin seperti

terpaku di tempat duduknya. Pikirannya tak karuan. Sama atau lebih dari waktu Ning Romlah dilamar Gus Ali. Untuk kedua kalinya Kang Amin terpukul sekali. Mungkin sudah menjadi nasib Kang Amin atau takdir memang mengaturnya sedemikian rupa.



Ditinggalkan Ning Ummi, hanya beberapa lama dia seperti linglung. Setelah itu dia kembali seperti sebelumnya. Dia kembali bersemangat seperti mendapat obat kuat.

Kali ini “obat kuat”-nya adalah Ning Laila, puteri bungsu Kiai. Ning Laila yang lincah. Ning Laila

yang semanak dan suka bicara ceplas-ceplos.

Ah, mengapa selama ini aku tidak memperhatikan kijang elok ini, pikir kang Amin. Mungkin perhatiannya selama ini tersita habis oleh Ning Romlah, kemudian oleh Ning Ummi, hingga kurang menghiraukan si bungsu yang

dianggapnya masih ingusan.

Ah. Ning Laila yang lincah dan menggemaskan

ini tidak hanya mampu mengisi kekosongan hati Kang Amin, tapi sudah membuat tekadnya bulat: pada saatnya dia akan nekat matur kepada Kiai. Apa pun yang akan terjadi, dia harus meminang Ning Laila. Harus. Sudah dua

kali aku kecewa, mudah-mudahan kali ini

datang keberuntunganku, batin Kang

Amin penuh harap.



Tapi, seperti kata pepatah kuno, untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak. Belum sempat Kang Amin matur kepada Kiai, lagi-lagi geledek menyambar di siang bolong. Kali ini lebih parah lagi, karena geledek itu muncul langsung dari mulut Ning Laila.

“O, Ning Laila, sampai hati benar kau!” jerit hati Kang Amin ketika si bungsu centil itu tiba-tiba memintanya mengarangkan undangan untuk

pernikahannya dengan Gus Zaim, sepupunya sendiri.

Di kamarnya Kang Amin tertawa kecut sendiri. ***



Walimatul ‘ursy Ning Laila dan Gus Zaim benar-benar luar biasa meriah. Semua orang tampak sibuk. Tiga hari tiga malam tamu-tamu terus mengalir, berdatangan entah dari mana saja. Kedua mempelai yang tampak sumringah menjadi pusat perhatian. Keduanya seperti tak mengenal lelah karena bahagia.



Kiai Nur sendiri, yang sebenarnya kurang sehat badan, kelihatan berusaha menyembunyikan

kepucatan wajahnya dalam senyum yang

beliau tebarkan ke sana kemari.



Lalu di mana Kang Amin? Dalam hiruk-pikuk

keramaian begitu, siapa pula yang ingat

Kang Amin?

***



Sejak pernikahan Ning Laila dengan Guz

Zaim, tak banyak yang bisa diceritakan tentang keluarga ndalem Kiai Nur, kecuali tentu saja peristiwa kewafatan Kiai Nur sendiri beberapa bulan setelah itu.



Tapi setengah tahun setelah kewafatan Kiai Nur, ada peristiwa besar yang benar-benar mengejutkan dan menggegerkan.

Anda pun pasti tak percaya: Kang Amin kawin

dengan Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.

**

Rembang, 11 Juli 2002