Selasa, 26 Maret 2013

butiran DEBU

Lama ku cinta ktika qt bersama
berbagi rasa tuk selamanya,
Lama ku cinta ktika qt bersama
berbagi rasa Sepanjang usia

Hingga tiba saatnya akupun melihat
Cintaku yang khianat
Cintaku berkhianat

Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran DEBU
Menepilah ! menjauhlah!
Smua yg terjadi antara kita

an-na0m

An-naOm kher lie min jawabi risalatik el-Qosiroh,,,
li-anne roghibtu ‘ank.. la,, la,, la,, roghibtu ‘anne,, ‘an nafsie..
arjou katser mink wante la to’te sye’ illa mohadetsa wa takalem bain ikhwah
walao ba’de takalem biannek uhibbone..
ya Salaaam,,,
walimadze takalamte walidzalek kannek tO’te r0ja’ ilaiyy,,
laken la t0’te aktser min resalah qosir0h faqot..
wanne la astathi’ an la aqbalek...

balaghoh 2+




Makalah

PEMBAGIAN BADI’ MA’NAWI


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Balaghah 2
Dosen Pengampu : Maman Dzul Iman, S. Ag., MA.



Disusun Oleh:
Ruha Alifah
(1410120072)

Tarbiyah/ PBA – A/ Semester V
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2012

BAB I
PENDAHULUAN

llmu Balaghah adalah ilmu yang mengungkapkan metode untuk mengungkapkan bahasa yang indah, mempunyai nilai estetis (keindahan seni), memberikan makna sesuai dengan muqtadhal hal (situasi dan kondisi), serta memberikan kesan sangat mendalam bagi pendengar dan pembacanya.
Dari ilmu balaghoh kita mengenal cabang ilmu yang bernama ilmu badi’. Ilmu badi’ adalah ilmu untuk memperindah kalam sehingga bernilai estetis.
Dalam hal ini ilmu badi’ terbagi menjadi dua, yakni keindahan dari segi lafadz atau biasa dikenal dengan istilah lafdziy dan keindahan dari segi ma’na atau biasa disebut ma’nawiy. Dari masing-masing dua hal itu ulama membagi menjadi beberapa jenis.
Dalam makalah ini sedikitnya kami akan membahas pembagian jenis-jenis badi’ ditinjau dari segi makna.

BAB II
PEMBAGIAN BADI’ MA’NAWI

A. Pengertian
Badi’ secara bahasa berarti “yang indah sekali, mengagumkan”. Ilmu badi’ berarti ilmu sastra Arab. (Munawwir, 1997: 65)
Sedang pengertian Ilmu badi’ dalam ilmu balaghoh menurut Al-Akhdlori dalam syairnya adalah ilmu untuk memperindah kalam setelah mempertimbangkan hal-hal yang telah dibahas sebelumnya. Yang dimaksud disini, sebagaimana disebutkan dalam keterangan dibawahnya, yaitu menjaga kecocokan kalam dengan muqtadlol hal dan dilalah yang jelas. (2003: 102)
علم به وجوه تحسين الكلام يعرف بعد رعي سابق المرام
(بعد رعي سابق المرام) اى بعد رعاية المطابقة ووضوح الدلالة
Senada dengan Al-Akhdlori, Muhammad Ghufron mengungkapkan bahwa ilmu badi’ secara istilah adalah ilmu untuk memperindah kalam sehingga bernilai estetis setelah mempertimbangkan situasi dan kondisi pendengar (muqtadlol hal) dan menjaga dilalah yang jelas. (1991: 20-21)
واما البديع فى مفهومه الاصطلاحى فهو علم يعرف به وجوه تحسين الكلام
بعد رعاية المطابقة لمقتضى الحال ورعاية وضوح الدلالة
Jadi ilmu badi’ adalah ilmu untuk memperindah kalam sehingga bernilai estetis. Dan hal itu bisa dipahami setelah mempelajari ilmu ma’ani, yakni melakukan pertimbangan situasi dan kondisi pendengar, serta ilmu bayan, yakni menjaga dilalah yang jelas/ mudah dipahami.

B. Pembagian Badi’
Setelah memahami fungsi ilmu badi’ sebagai ilmu yang digunakan untuk memperindah kalam, dalam hal ini keindahan dalam ilmu badi’ terbagi menjadi dua, yakni keindahan dari segi lafadz dan keindahan dari segi ma’na.
Dari masing-masing dua keindahan itu ulama membagi menjadi beberapa jenis. Berikut ini adalah pembagian badi’ dari segi ma’na:
1. Badi’ muthobaqoh
Yakni kumpulan dua lafadz yang memiliki ma’na berbeda/ berlawanan, contoh: هو الاول والاخر . هو اضحك وابكى
2. Badi’ tasyabuh athraf
Yakni kesesuaian ma’na antara lafadz yang berada diawal dan diakhir kalam, contoh: لا تدركه الابصار وهو يدرك الابصار
3. Badi’ muwafaqoh
Yakni mengumpulkan dua hal yang sesuai, contoh: الشمس والقمر بحسبان
4. Badi’ ‘aksu
Yakni mendahulukan dan mengakhirkan lafadz yang sama, contoh:
قول الامام امام القول
5. Badi’ tashim
Yakni menyebutkan lafadz yang menunjukkan lafadz akhir di sebelum akhir kalam, contoh: وما كان الله ليظلمهم ولكن كانوا انفسهم يظلمون
6. Badi’ musyakalah
Yakni menyebutkan sesuatu dengan lafadz lain yang berkaitan dengannya, contoh: صبغة الله
7. Badi’ tazawuj
Yakni mencampur dua ma’na dalam syarat dan jaza’, contoh:
اذا ما نهى الناهى فلج بى الهوى اصاخت الى الواشى فلج بها الهجر
8. Badi’ ruju’
Yakni mengulang kalam dengan arti yang lain, contoh:
قف بالديار التى لم يعفها القدم بلى وغيرها الارواح والديم
9. Badi’ muqobalah
Yakni menyebutkan beberapa lafadz yang memiliki arti yang mirip lalu dibandingkan, contoh: فأما من اعطى واتقى وصدق بالحسنى فسنيسره لليسرى
10. Badi’ tauriah
Yakni menyebutkan lafadz yang memiliki dua ma’na baik dekat atau jauh, contoh: الرحمن على العرش استوى
11. Badi’ jama’
Yakni mengumpulkan beberapa hal dalam satu hukum, contoh:
المال والبنون زينة الحياة الدنيا
12. Badi’ tafriq
Yakni membedakan dua hal yang sejenis, contoh:
ما نوال الغمام وقت ربيع كنوال الامير يوم سخاء
فنوال الامير بدرة عين ونوال الغمام قطرة ماء
13. Badi’ taqsim
Yakni menyebutkan beberapa lafadz lalu diklasifikasikan masing-masing, contoh: ولا يقيم على ضيم يراد به الاالاذلان عير الحي والوتد
هذا على الخسف مربوط برمته وذا يشج فلا يرثى له احد
14. Badi’ laf nasyr
Yakni menyebutkan beberapa ma’na secara global atau rinci, contoh:
وقالوا لن يدخل الجنة الا من كان هودا او نصارى
15. Badi’ istikhdam
Yakni menyebutkan lafadz yang memiliki dua ma’na, lalu menyebutkan
dlomir yang kembali kelafadz tersebut namun dengan ma’na lain, contoh:
اذا نزل السماء بأرض قوم رعيناه وان كانوا غضبا
16. Badi’ tajrid
Yakni mengambil sifat lain dari satu lafadz yang memiliki sifat, contoh:
لى من فلان صديق حميم
17. Badi’ mubalaghoh
Yakni menetapkan sifat sangat dan menguatkan, contoh:
فعادى عداء بين ثور ونعجة دراكا فلم ينضح بماء فيغسل
18. Badi’ tafri’
Yakni menetapkan satu hukum pada hal terkait setelah menetapkan hukum pada hal terkait lainnya, contoh:
احلامكم لسقام الجهل شافية كما دمائكم تشفى من الكلب
19. Badi’ husni ta’lil
Yakni menetapkan alasan yang sesuai pada suatu sifat, contoh:
لم يحك نائلك السحاب وانما حمت به فصبيبها الرحضاء
BAB III
KESIMPULAN

Ilmu badi’ adalah ilmu untuk memperindah kalam sehingga bernilai estetis. Dan hal itu bisa dipahami setelah mempelajari ilmu ma’ani, yakni melakukan pertimbangan situasi dan kondisi pendengar, serta ilmu bayan, yakni menjaga dilalah yang jelas/ mudah dipahami.
Ilmu badi’ sebagai ilmu yang digunakan untuk memperindah kalam, dalam hal ini keindahan dalam ilmu badi’ terbagi menjadi dua, yakni keindahan dari segi lafadz dan keindahan dari segi ma’na.
Dari masing-masing dua keindahan itu ulama membagi menjadi beberapa jenis. Adapun keindahan dari segi ma’na terbagi menjadi 19 jenis.

DAFTAR PUSTAKA

- Al-Akhdlori, Abdur Rahman Ibn Muhammad. 2003. Al-Jauhar Al-Maknun. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
- Ghufron, Muhammad. 1991. Al-Balaghah fi’ilmi Al-Badi’. Ponorogo: Ma’had Dar As-Salam Gontor
- Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif

balaghoh 1+

Makalah

AL-ISNAD AL-AQLI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Balaghah 1
Dosen Pengampu : Maman Dzul Iman, S. Ag., MA.




Disusun Oleh :
Ruha Alifah
(1410120072)

Tarbiyah/ PBA – B/ Semester IV
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dalam ilmu balaghoh terdapat dua penyandaran yang biasa kita sebut dengan kalam khobar dan kalam insya’. Kalam khabar yaitu kalam yang berisi berita (informatif) yang mungkin benar dan mungkin bohong. Hal ini dilihat dari dzatiyah kalam itu sendiri, dalam arti tanpa memandang siapa yang menyampaikan kalam tersebut.
Sedang kalam insya’ yaitu kalam yang tidak dapat dinisbatkan pada benar atau dusta. Pembicaranya tidak dapat dikatakan sebagai orang yang jujur atau dusta. Sebab kalam ini bukan berisi tentang suatu info/ berita, namun lebih pada sebuah tuntutan.
Namun dipandang dari sisi makna, penyandaran disini juga terbagi atas dua hal, yakni hakikat aqliyah dan majaz aqliyah.
Dalam makalah ini kami bahas sedikitnya tentang hakikat aqliyah dan majaz aqliyah. Tentang pembagiannya dipandang dari pembuktian dan I’tiqodnya ataupun dipandang dari musnad dan musnad ilaihnya.

BAB II
AL-ISNAD AL-AQLI
Dalam ilmu balaghoh terdapat dua penyandaran yang biasa kita sebut dengan kalam khobar dan kalam insya’. Demikian itu adalah dengan memandang dzatiyah kalam itu sendiri, yakni tentang kebenaran atau kedustaan sebuah perkataan. Sedangkan dipandang dari sisi makna, penyandaran juga terbagi atas dua hal, yakni hakikat aqliyah dan majaz aqliyah. )Abdur Rahman: 26)
A. Hakikat Aqliyah
Hakikat aqliyah adalah mengisnadkan fiil atau syibih fiil )masdar, isim fail, isim maful, sifat musyabihat, isim tafdil dan zorof) kepada ma’mulnya menurut kehendak mutakallim. Maksudnya ma’mul disini adalah bisa berupa fail jika fiilnya mani ma’lum, dan maf’ul jika fiilnya mabni majhul. )Abdur Rahman: 21) Contoh: ضرب السارق التاجر yang artinya pencuri telah memukul penjual. Jadi kegiatan memukul disandarkan pada pencuri.
ضرب التاجر yang artinya penjual telah dipukul. Jadi kegiatan dipukul disandarkan pada penjual.
Hakikat aqliyah dipandang dari pembuktian dan I’tiqodnya terbagi menjadi empat, yakni:
1. Sesuai dengan bukti/ realita dan I’tiqodnya, seperti ucapan orang mukmin
انبت الله البقل yang artinya Allah menumbuhkan sayur-sayuran.
2. Sesuai dengan I’tiqod saja, seperti ucapan orang kafir انبت الربيع البقل yang artinya musim hujan menumbuhkan sayur-sayuran. Hal itu hanya sesuai dengan keyakinan mereka saja, tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya.
3. Sesuai dengan bukti/ realita saja, seperti ucapan orang mu’tazilah kepada orang lain yang tidak tahu bahwa ia adalah golongan kaum mu’tazilah
خلق الله الأفعال كلهاyang artinya Allah menciptakan seluruh pekerjaan. Hal itu hanya sesuai dengan realita yang sebenarnya, dan tidak sesuai dengan i’tiqod mereka yang meyakini yakni bahwa manusia yang menciptakan pekerjaan.
4. Tidak sesuai dengan bukti/ realita dan i’tiqodnya, seperti ucapan seseorangجاء عبيد الله ketika ia tahu bahwa Ubaid tidak datang. Hal itu tidak sesuai dengan realita dan i’tiqod sebab kenyataannya Ubaid tidak datang dan ia mengetahui hal itu.
Hakikat aqliyah dipandang dari musnad dan musnad ilaihnya terbagi menjadi empat, yakni:
1. Keduanya bermakna hakikatخلق الله محمدا yang artinya Allah menciptakan Muhammad
2. Keduanya bermakna majaz احيا البحر عبيدا yang artinya seorang dermawan telah memberi sesuatu pada Ubaid
3. Musnad bermakna majaz dan musnad ilaih bermakna hakikat احيا اله البقل yang artinya Allah menumbuhkan sayur-sayuran
4. Musnad bermakna hakikat dan musnad ilaih bermakna majaz جاء عبيد yang artinya teman Ubaid telah datang
B. Majaz Aqliyah
Majaz aqliyah adalah mengisnadkan fiil atau syibih fiil )masdar, isim fail, isim maful, sifat musyabihat, isim tafdil dan zorof) kepada selain ma’mulnya dengan disertai qarinah. Maksudnya menyandarkannya pada selain fail ketika fiilnya mani ma’lum, dan kepada selain maf’ul ketika fiilnya mabni majhul. (Ali Al-Jarim dan Musthafa Usman: 162)
Qarinah disini terbagi dua, yakni qarinah lafdziyah dan maknawiyah.
a). Qarinah lafdziyah yakni menambahkan lafadz lain yang menunjukkan isyarat majaz.
Contoh: شيب رأسى توالى الهموم والأحزان ولكن الله يفعل ما يشاء yang artinya kesedihan dan kesusahan telah membuat rambutku beruban, namun sesungguhnya Allah melakukan apa yang Ia kehendaki. Lafadz kedua menunjukkan bahwa yang membuat rambut beruban adalah Allah bukan kesedihan dan kesusahan.
b). Qarinah maknawiyah yakni ketika akal mengatakan tidak mungkin terjadinya musnad terhadap musnad ilaih.
Contoh: محبتك جاءت بي اليك yang artinya rasa cinta membuatku datang kepadamu. Hal ini dikatakan majaz sebab secara akal yang bisa membuat kedatangan seseorang adalah kaki yang berjalan, bukan rasa cinta.
Majaz aqliyah dipandang dari musnad dan musnad ilaihnya terbagi menjadi empat, yakni:
1. Keduanya bermakna hakikat secara bahasa.
Contoh:انبت الربيع البقل yang artinya musim hujan menumbuhkan sayur-sayuran.
2. Keduanya bermakna majaz secara bahasa.
Contoh: احيا الأرض شباب الزمان yang artinya penggantian zaman telah menyuburkan tanah.
3. Musnad bermakna majaz dan musnad ilaih bermakna hakikat.
Contoh: احيا الأرض الربيع yang artinya musim hujan telah menyuburkan tanah.
4. Musnad bermakna hakikat dan musnad ilaih bermakna majaz.
Contoh: انبت البقل شباب الزمان yang artinya penggantian telah menumbuhkan sayur-sayuran.
Yang dimaksud makna hakikat atau majaz disini adalah dilihat dari tinjauan bahasa, bukan realita. Contoh-contoh diatas adalah termasuk majaz aqliyah sebab hakikatnya yang menumbuhkan atau menyuburkan adalah Allah semata.
Sedangkan majaz aqliyah yang kalimat fiilnya disandarkan pada fail atau mafulnya, maka ia termasuk isnad hakiki. (Abdur Rahman: 24) Dan hal itu bisa dilihat secara jelas, seperti contoh: ثوب لابس asalnya لبس عبيد ثوبا dengan proses failnya dibuang lalu kalimat fiilnya dirubah menjadi isim fail dan disandarkan pada dlomir yang merujuk ke lafadz ثوب .
BAB III
KESIMPULAN
Dipandang dari sisi lain, dalam ilmu balaghoh terdapat dua penyandaran yakni hakikat aqliyah dan majaz aqli.
Hakikat aqliyah adalah mengisnadkan fiil atau syibih fiil )masdar, isim fail, isim maful, sifat musyabihat, isim tafdil dan zorof) kepada ma’mulnya menurut kehendak mutakallim.
Majaz aqliyah adalah mengisnadkan fiil atau syibih fiil )masdar, isim fail, isim maful, sifat musyabihat, isim tafdil dan zorof) kepada selain ma’mulnya dengan disertai qarinah.
Kedua hal tersebut, baik hakikat aqliyah ataupun majaz aqliyah, dipandang dari musnad dan musnad ilaihnya terbagi menjadi empat, yakni:
1. Keduanya bermakna hakikat secara bahasa.
2. Keduanya bermakna majaz secara bahasa.
3. Musnad bermakna majaz dan musnad ilaih bermakna hakikat.
4. Musnad bermakna hakikat dan musnad ilaih bermakna majaz.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarim, Ali dan Musthafa Usman. 2006. Al-Balaghatul Waadhihah Terj. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Al-Akhdlori, Abdur Rahman Ibn Muhammad. 2003. Al-Jauhar Al-Maknun. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
Banna’, Haddam. 1405. Al-Balaghah fi’ilmi Al-Bayan. Ponorogo: Ma’had Dar As-Salam Gontor
Hidayat. 2002. Al-Balaghah li Al-Jami’ Wasy-Syawahid min Kalam Al-Badi’. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Zaenuddin, Mamat dan Yayan Nurbayan. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung: PT Refika Aditama

balaghoh 1

Makalah
TAQSIM AL-KALAM ILA KHABARIN WA INSYA-IN
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Mata Kuliah : Balaghah 1
Dosen Pengampu : Maman Dzul Iman, S. Ag., MA.



Disusun Oleh : Kelompok 2
Asep Saefudin Zuhri
Nur Yanti
Ruha Alifah

Tarbiyah/PBA – B/Semester IV
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON 2012

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu ma’ani yaitu ilmu yang dengannya kita bisa menyampaikan sesuatu yang sesuai dengan situasi dan kondisi mukhotob. Apa yang tersampaikan atau biasa disebut kalam, haruslah sesuai dengan keadaan mukhotob.
Hal pertama yang harus kita pahami dalam bidang ini yaitu kalam. Tentang apa yang akan kita sampaikan, dan bagaimana cara kita menyampaikannya. Setelah itu kita harus bisa membaca keadaan orang yang kita ajak bicara. Lalu mempertimbangkannya dalam memilih kalam seperti apa yang tepat kita sampaikan.
Makalah ini sedikitnya akan membicarakan tentang pembagian kalam itu sendiri, pengertian, isi, bentuk, dan tujuannya. Serta berbagai macam jenis keadaan mukhotob berikut penyesuaian-penyesuaiannya.

BAB II
TAQSIM AL-KALAM ILA KHABARIN WA INSYA-IN
Kalam dalam tata bahasa Arab yaitu lafadz yang tersusun yang memberi pengertian kepada mukhotob. Dalam ilmu ma’ani kalam yang tersampaikan haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi mukhotob, atau biasa disebut ‘muqtadlol hal/ muqtadloz zohir’.
Seperti contoh ketika memuji, itu adalah saat yang tepat untuk menyampaikan kalam dalam bentuk ithnab. Atau ketika mukhotob adalah orang yang cerdas, maka kalam yang tepat untuk digunakan adalah kalam dalam bentuk ijaz. (Al-Akhdlori, 2003 : 14)
Dalam hal ini kalam terbagi menjadi dua, yaitu kalam khabar dan kalam insya’.
1. Kalam Khabar
A. Pengertian
Kalam khabar yaitu kalam yang berisi berita (informatif) yang mungkin benar dan mungkin bohong. Hal ini dilihat dari dzatiyah kalam itu sendiri, dalam arti tanpa memandang siapa yang menyampaikan kalam tersebut. (Al-Akhdlori, 2003 : 17)
Berita/ isi dari kalam khabar yaitu tentang penetapan hukum, seperti contoh: زخرف جميل (penetapan hukum indah bagi Zukhruf), atau menghilangkan hukum, seperti contoh زخرف ليس بقبيح (menghilangkan hukum jelek bagi Zukhruf).
Kalam khabar tak hanya berupa jumlah ismiyah, namun bisa juga ia berupa jumlah fi’liyah. Ketika kalam berupa jumlah fi’liyah, maka ia juga memberikan ma’na terjadinya sesuatu pada zaman tertentu. Contoh ketika seserang mengatakan امطرت السماء maka mukhotob tidak hanya memahami akan terjadinya hujan, namun ia juga memahami terjadinya hujan tersebut adalah dimasa lalu. (Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, 2006: 198)
B. Tujuan Kalam Khabar
Tujuan pokok dalam menyampaikan kalam khabar ada dua, yaitu:
1). Memberi faidah pada mukhotob yang tidak tahu, tentang dzat hukum. Hal ini dinamakan dengan فائدة الخبرcontoh mengucapkan زخرف جالس kepada orang yang tidak tahu bahwa Zukhruf duduk.
2). Memberi faidah pada mukhotob, bahwa mutakallimpun mengerti/ tahu tentang apa yang ia ucapkan, ini dinamakan dengan لازم الفائدة (Haddam Banna’, 1405: 14). Contoh mengucapkan زخرف جالس kepada orang yang tahu bahwa Zukhruf duduk.
Selain itu, kalam khabar juga mempunyai tujuan-tujuan lain yang bisa dipahami dari siyaqul kalam, yaitu:
a. Mengharap belas kasihan, contoh: اِنِّى فقيرٌ الى عفوِ ربِّى
b. Menampakkan kelemahan, contoh: ربِّ انِّى وهنَ العظمُ منِّى
c. Menampakkan kekecewaan/ nelangsa, contoh: ربِّ انِّى وضعتُها اُنثَى
d. Kesombongan, contoh: ان الله اصطفانى من قريش
e. Pujian, contoh: انت شمس انت بدر انت نور فوق النور
f. Memberi peringatan, contoh: ابغض الحلال الى الله الطلاق
C. Ketentuan Kalam Khabar
Sebelum menyampaikan kalam khabar tentulah kita harus pahami dulu situasi dan kondisi mukhotob, lalu menyesuaikannya, agar kalam yang kita sampaikan tepat dan mengena. Karena dengan perbedaan kondisi, berbeda pula cara yang digunakan. Berikut ini tiga kondisi mukhotob berikut penyesuaiannya. (Al-Akhdlori, 2003 : 18)
1) Mukhotob yang tidak tahu, maka tidak perlu adanya taukid, contoh: اخوك جالس
2) Mukhotob yang ragu-ragu, maka perlu adanya taukid, contoh :
ان اخاك جالس
3) Mukhotob yang ingkar, maka wajib adanya taukid, semakin banyak pengingkaran semakin banyak pula pentaukidan, seperti terdapat dalam al-quran surat yasin ayat 14-16:
     •                             

Pentaukidan bisa dengan menambahkan anna, inna, qod, nun taukid, lam ibtida’.
2. Kalam Insya’
Kalam insya’ yaitu kalam yang tidak dapat dinisbatkan pada benar atau dusta. Pembicaranya tidak dapat dikatakan sebagai orang yang jujur atau dusta. (Al-Akhdlori, 2003 : 63)
Kalam insya’ terbagi menjadi dua, yaitu:
• Insya’ tholabiy, yakni kalam yang mengandung arti menuntut terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu pengucapan. Kalam ini terbagi menjadi lima jenis, (Haddam Banna’, 1405: 22) yaitu:
Amr: tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari atasan kepada yang lebih rendah, contoh: واقيموا الصلاة
Nahy: tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada yang lebih rendah, contoh: ولا تفسدوا فى الارض بعد اصلاحها
Istifham: menuntut pemahaman tentang sesuatu dengan menggunakan huruf-huruf istifham, contoh: هل فهمتم الدرس
Tamanni: menuntut hal yang disukai meski sukar terjadi, contoh: ليت الشباب يعود يوما
Nida’: tuntutan untuk menghadap dengan huruf-huruf nida’, contoh: يا زخرف اَقْبِلْ
Menurut Imam Al-Akhdlori, insya’ tholabiy ada enam dengan satu tambahan yakni du’a: menuntut sesuatu kepada yang lebih tinggi dengan merendah diri dan penuh harap, contoh: ربنا اغفر لنا (2003 : 63)
• Insya’ ghoir tholabiy, yakni kalam yang tidak menuntut terjadinya sesuatu yang belum terjadi pada waktu pengucapan. Ia terbagi menjadi beberapa jenis, yakni مدح , ذم , قسم , تعجب , رجاء . Jenis-jenis insya’ ini tidak termasuk dalam pembahasan ilmu ma’ani. (Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, 2007: 104)

BAB III
KESIMPULAN
Dalam ilmu ma’ani, kalam terbagi menjadi dua, yaitu kalam khabar dan kalam insya’. Kalam khabar yaitu kalam yang berisi berita (informatif) yang mungkin benar dan mungkin bohong. Hal ini dilihat dari dzatiyah kalam itu sendiri, dalam arti tanpa memandang siapa yang menyampaikan kalam tersebut. Dengan demikian, sang pembicara bisa saja dikatakan sebagai orang yang jujur atau pendusta.
Sedang kalam insya’ yaitu kalam yang tidak dapat dinisbatkan pada benar atau dusta. Pembicaranya tidak dapat dikatakan sebagai orang yang jujur atau dusta. Sebab kalam ini bukan berisi tentang suatu info/ berita, namun lebih pada sebuah tuntutan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarim, Ali dan Musthafa Usman. 2006. Al-Balaghatul Waadhihah Terj. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Al-Akhdlori, Abdur Rahman Ibn Muhammad. 2003. Al-Jauhar Al-Maknun. Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
Banna’, Haddam. 1405. Al-Balaghah fi’ilmi Al-Ma’ani. Ponorogo: Ma’had Dar As-Salam Gontor
Zaenuddin, Mamat dan Yayan Nurbayan. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung: PT Refika Aditama

Nahwu 3+

Makalah

AL-MUDLOF ILA YA AL-MUTAKALLIM


Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri
Mata kuliah : Nahwu 3
Dosen Pengampu : Maman Dzul Iman M.Ag



Disusun oleh :
Ruha Alifah
(1410120072)

Tarbiyah/PBA – B/Semester III
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2011

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bahasa arab terdapat susunan yang dinamakan dengan idlofah. Yakni tarkib yang terdiri dari mudlof dan mudlof ilaih. Keduanya harus berupa kalimat isim. I’rob kalimat pertama (mudlof) disesuaikan dengan mahalnya, sedang kalimat kedua (mudlof ilaih) harus dibaca jar. Namun jika kalimat kedua berupa dlomir mutakallim wahdah, maka terdapat ketentuan tersendiri didalamnya. Dan tentang itu akan dibahas sedikitnya dalam makalah ini.

BAB II
AL-MUDLOF ILA YA AL-MUTAKALLIM
Kalimat yang dimudlofkan pada ya mutakallim yakni kalimat yang disandarkan pada satu orang yaitu orang yang berbicara. Ya mutakallim disini berkedudukan sebagai mudlof ilaih. Sebagaimana yang kita tahu bahwa mudlof ilaih selamanya harus dibaca jar. Namun tidak demikian dengan ya mutakalim, ia dibaca jar hanya dalam mahalnya saja, karena ia mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri dalam cara baca.
Ketentuan dari kalimat yang dimudlofkan pada ya mutakallim yakni, huruf akhir dari setiap kalimat isim yang dimudlofkan pada ya mutakallim harus dibaca kasroh, sedang ya mutakallim boleh dibaca fathah atau sukun. (Muhammad Jamaluddin, hal.110). Seperti contoh: هذا ثوبِىْ ___ هذا ثوبِىَ (ini baju saya)
Ketentuan tersebut berlaku jika kalimat isim berupa kalimat yang shohih akhir serta mufrod, dalam arti ia bukan isim maqsur, manqush, mutsanna, dan jamak. (Ibnu Hamdun, hal.207). Sedang jika kalimat isim itu berupa:
• Maqsur, maka dikembalikan pada bentuk mutsanna marfu’. Contoh: عصاىَ
Namun menurut imam Hudzail, alif diganti menjadi ya, lalu ya diidghomkan pada ya mutakallim, dan ya mutakallim dibaca fathah. Contoh: عصىَّ
• Manqush, maka ya diidghomkan pada ya mutakallim dan ya mutakallim dibaca fathah. Ketentuan tersebut sama baik dalam tingkah rofa’, nashob, atau jar. Contoh: قام قاضىَّ____ رأيت قاضىَّ____ نظرت الى قاضىَّ
• Mutsanna, maka ya diidghomkan pada ya mutakallim dan ya mutakallim dibaca fathah. Ketentuan tersebut sama baik dalam tingkah nashob dan jar. Contoh: رأيت غلامَىَّ____ نظرت الى غلامَىَّ
Asalnya, غلامين لى nun dan lam dibuang karena idlofah, lalu ya pertama diidghomkan pada ya kedua, dan ya mutakallim dibaca fathah.
Sedang dalam tingkah rofa’ maka alif tidak dibuang , dan ya mutakallim dibaca fathah. Contoh: قام غلاماىَ
• Jamak, maka ya diidghomkan pada ya mutakallim dan ya mutakallim dibaca fathah. Ketentuan tersebut sama baik dalam tingkah rofa’, nashob, atau jar. Contoh: قام غلامِىَّ____ رأيت غلامِىَّ____ نظرت الى غلامِىَّ
Asalnya, غلامون لى nun dan lam dibuang karena idlofah, lalu wawu diganti menjadi ya karena berkumpulnya wawu dan ya yang berharokat sukun huruf pertamanya, lalu dlommah diganti kasroh, dan ya mutakallim dibaca fathah.
Jadi ya mutakallim dibaca fathah jika ia bersama isim manqush, maqshur, mutsanna, jama’ mudzakar salim. Selain itu ya mutakallim boleh dibaca sukun atau fathah.

BAB III
KESIMPULAN
Huruf akhir dari setiap kalimat isim yang dimudlofkan pada ya mutakallim harus dibaca kasroh, sedang ya mutakallim boleh dibaca fathah atau sukun. Ketentuan tersebut berlaku jika kalimat isim (mudlof) berupa kalimat yang shohih akhir serta mufrod, dalam arti ia bukan isim maqsur, manqush, mutsanna, dan jamak. Sedang jika mudlof berupa isim manqush, maqshur, mutsanna, dan jama’ mudzakar salim maka ya mutakallim dibaca fathah.

DAFTAR PUSTAKA

Hamdun, Ibnu. Hasyiyah Al-Allamah Ibnu Hamdun. Dar Ihyail Kutub Al-Arobiyah Indonesia
Jalaludin. Syarh Ibnu Aqil. Surabaya: Al-Hidayah
Jamaluddin, Muhammad. Alfiyah Ibnu Malik. Darul Hifdz As-Salafiyah
Muhammad. Taqrirot Alfiyah Ibnu Malik. Kediri: Hidayatul Mubtadi-Ien

Senin, 18 Maret 2013


salam sejahtera,,, blog baru nieh,, oyeee :)
seneng dweeehh,,, lebay beuttt.. haha
belum ada apa2nya memang,, tapi yaa mayanlah untuk pemula...
hehe
semoga manfaat